Mengambil Contoh

Pada suatu waktu, saya menerima sebuah email dari kawan lama. Terharu rasanya, sebab lama tak jumpa. Tapi begitu membacanya saya terkejut. Bersungut, sebab emailnya berisikan complain atas tulisan saya. Isinya kira – kira protes dengan keras, kenapa kok dalam tulisan itu saya mengambil contoh dari non islam? Kenapa tidak mengambil contoh dari para sahabat, tabiin atau orang – orang faqih islam lainnya? Apakah tidak ada lagi yang bisa dijadikan contoh dari islam? Padahal banyak tauladan yang bisa diambil. Begitu sanggahnya.

Lama saya tercenung mengoreksi diri. Apakah ada yang salah dengan tulisan – tulisan itu? Apakah tidak boleh mengambil contoh dari non muslim? Atau apakah ada yang berubah dengan kawan ini? Beberapa pertanyaan pun menggelayut. Kemudian sebelum saya memberikan respon, sahabat lainnya memberikan jawaban atas protes kawan tersebut. Sahabat ini mengatakan bahwa memang saat ini susah kita menemukan tokoh islam yang mendunia. Bisa dijadikan panutan, diakui kredibilitas dan eksistensinya. Sebab kebanyakan tokoh islam sekarang malah dicap teroris, dan dimata – matai gerak – geriknya oleh orang islam sendiri.

Dari sahabat ini, kemudian saya memberanikan diri menimpali. Saya sampaikan bahkan Allah pun dengan gamblang menjadikan Firaun, Namrud dan orang – orang kafir lainnya sebagai tamsil di dalam al-quran. Kenapa kita tidak boleh mengambil contoh dari non muslim?

Sepenggal kalimat yang saya kirim, tak disangka mendapat respon balik yang begitu cepat dan tajam dari kawan lama ini. Seperti api. Dia berkilah, bahwa Allah menyajikan Firaun cs di dalam al-Quran adalah sebagai bandingan agar kita tidak mengikuti tingkah lakunya. Beda dengan apa yang ditulisan itu seolah kita harus menirunya. Padahal dia bukan orang islam.

Di sinilah saya baru tersadar dan menemukan ujung pangkal kesalahpahaman itu. Seperti biasa, saya sudahi perdebatan ini, biar tidak berlarut dan berpanjang kali lebar, dengan permintaan maaf yang tulus dan mendalam. Akhirnya menutup perbedaan ini dengan: case closed.

Kebaikan itu bersifat universal, sehingga di manapun ia berada siapa pun berhak meniru dan mengambilnya. Seperti Bunda Theresia di Calcutta India, yang sangat perhatian dengan fakir miskin dan anak – anak terlantar sehingga mengantarkan dia mendapat anugerah nobel karenanya. Pada tulisan saya yang mengambil contoh dengannya adalah berupa ajakan bagaimana kita bisa mengolah hati dan rasa kasih sayang kita terhadap sesama. Tidak mengajak menjadi seperti dia atau beragama seperti dia. Melainkan, ayo tingkatkan kepedulian kita kepada sesama. Tidak hanya kepada orang seiman saja tetapi kepada semua makhluk Allah yang ada di sekitar kita. Hiasilah keimanan dan hidayah pada diri ini dengan akhlak mulia. Kalau orang lain bisa, kenapa kita yang menyebut diri sebagai kekasih Allah tidak bisa melakukannya? Seharusnya malu, bukan malah menyalahkan contohnya.

Sebab Allah sendiri pun memberikan teladan yang jelas, dimana seorang pelacur yang hanya memberi minum dengan sepatunya seekor anjing yang melet – melet kehausan, akhirnya ia masuk surga. Bukankah yang demikian itu jelas? Contoh itu bukan mengajak menjadi pelacur bukan? Akan tetapi menunjukkan bahwa berbuat baik kapan saja, dimana saja selalu bernilai dan berharga di mata Allah dan akan dibalas dengan yang lebih baik. Sebab Allah Maha Syukur. Dan kita bisa mengambil kebaikan itu dengan bentuk rasa sayang terhadap binatang, tidak menganiayanya, memeliharanya dalam bentuk berpasangan, memberinya makan dan tidak menyiksanya.

Pada kasus lain seperti jabat tangan, Nabi SAW pun memberikan suri tauladan yang jelas. Karena baik, maka diadoplah berjabat tangan sebagai ritual ketika seorang muslim ketemu maupun berpisah, melengkapi ucapan salam yang mendahuluinya. Kelakuan baik itu diambil dari Ahli Yaman, bukan asli islam. Sedangkan laku penghormatan dengan sujud Nabi menolaknya. Sebab mudhorotnya lebih banyak.

Memang benar, masih banyak contoh baik yang bisa diambil dari kalangan islam sendiri, baik dari Nabi SAW, para sahabat, tabiin dan ulama salaf lainnya. Tapi ada kurangnya ketika mengambil contoh dari kalangan sendiri. Selain contoh itu jauh di awang – awang, kurang up date, actual dan kekinian, bantingannya juga kurang menggelegar. tonjokannya kurang mantap. Bahkan terkesan biasa. Inilah sasaran bidikannya. Namun jika diambilkan contoh dari luar kalangan biasanya tersulut dan berkobar gairah kita untuk meraihnya. Itu bagi yang sadar, bagi yang seperti kawan lama saya itu bisa jadi malah petaka. Kalau tidak tersinggung, pastilah apatis dibuatnya. Kawan ini lupa sebuah dalil dalam hadits Bukhori, dimana Nabi SAW menyatakan ‘Aslamta alaa maa salafa min khoirin – Kamu islam sebab kebaikan kamu yang telah lewat.”

Kebaikan itu bukan hanya milik orang iman saja, orang lain pun bisa memilikinya. Siapa pun berhak mengerjakan kebaikan. Dan kepada Allahlah kita serahkan segalanya. “Maka barangsiapa yang berbuat kejelekan seberat dzarroh/atom (sekecil apapun) Allah akan melihatnya. Dan barangsiapa yang berbuat kebaikan seberat dzarroh/atom Allah juga melihatnya.” (QS az-Zalzalah 7-8). Jadi, jangan alergi ketika mendapati orang lain berbuat baik, terlebih dari luar kalangan. Kalau memang baik, tidak melanggar syariat, dan dimampukan untuk mengamalkannya, kenapa tidak? Sebab Allah Yang Maha Menghukumi. Bukan kita makhluk bumi ini.

oleh: Ustadz Fami


Sumber : OFFICIAL LDII WEBSITE

0 Response to "Mengambil Contoh"

Posting Komentar